Selasa, 10 Agustus 2010

Jawaban atas Kelangkaan Candi di Tatar Sunda

Bertahun-tahun terpendam sebuah pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban pasti. Pertanyaan ini mungkin ada juga di benak para pemerhati sejarah. Pertanyaan itu adalah tentang tidak ditemukannya peninggalan candi di wilayah Jawa Barat atau Tatar Sunda.
Tatar Sunda memiliki sederet panjang sejarah yang menarik dan unik. Menurut sebagian kalangan (meskipun ini perlu penelitian lebih lanjut), di Tatar Sundalah tempat lahirnya kerajaan tertua di Nusantara, yaitu Kerajaan Salaka Nagara, bukan Kerajaan Kutai. Tatar Sunda pula yang menjadi tempat berdirinya kerajaan tertua di Pulau Jawa, yaitu Tarumanagara. Tatar Sunda pula yang menjadi satu-satunya wilayah di Nusantara yang tidak jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Tercatat beberapa kerajaan besar dan kerajaan kecil muncul di Tatar Sunda, di antaranya: Tarumanagara, Pakuan Pajajaran, Galuh, Sunda, Sumedang Larang, Kutatanggeuhan, Cirebon, Banten, dan lain-lain.

Meskipun banyak berdiri kerajaan, kita sulit menemukan peninggalan sejarah berupa candi atau arca di Tatar Sunda ini. Yang ditemukan hanyalah prasasti, punden berundak, dan petilasan. Memang ditemukan sebuah candi di daerah Leles, Garut, yaitu candi Cangkuang, tetapi candi ini pun masih diliputi beberapa misteri yang belum terungkap, yaitu siapa pendirinya, kapan didirikannya, apa jenis candinya, dan sebagainya.

Memang, akhir-akhir ini ditemukan beberapa candi di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung dan Batujaya, Karawang. Akan tetapi, penemuan candi-candi tersebut masih belum menjawab pertanyaan misteri selama ini, yaitu “mengapa di Tatar Sunda sangat langka ditemukan candi-candi peninggalam kerajaan-kerajaan masa lampau seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur?”

Beberapa ahli sejarah dan arkeologi berusaha memaparkan penyebab tersebut. Di antaranya sebagai berikut.

1. Monoteisme Orang Sunda
Dari berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi terkini, Jawa Barat atau kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mendapat pengaruh Hindu dan Budha dari India. Aktivitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang Sunda adalah orang pertama di Indonesia yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan dalam hubungan sosial antara masyarakatnya.

Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai diterima oleh kalangan elite politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para ningrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang.

Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra-Hindu, Hyang (Sanghyang, Sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat memengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu, atau di tempat-tempat dan benda-benda lainnya. Hyang mengusai seluruh roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep keesaan Hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang ini; kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra-Hindu-Budha sudah menganut paham monoteistis di mana Hyang dihayati sebagai mahapencipta dan penguasa tunggal di alam. Konsepsi ini sama dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses islamisasi di Nusantara. Istilah "sembahyang" pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.

Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda, ajaran Hindu memengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi/pembauran teologis. Ini tergambar dalam hierarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya: “Anak satia babakti ka bapak; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu nanganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep Hyang merupakan konsep yang memang sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum pengaruh Hindu dan Buddha tersebut datang.

Tradisi sesembahan orang Sunda pra-Hindu-Buddha bukan terpusat di candi, melainkan menyembah Hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak menyebut tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam, mulai dari para Dewa Lokapala (Pelindung Dunia) sampai Pwah Sanghyang Sri (Dewi Padi), Pwah Naga Nagini (Dewi Bumi), dan Pwah Soma Adi (Dewi Bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah Hyang bisa sebutkan sebagai salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di Tatar Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap Hyang yang monoteistik, tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

2. Tradisi Egaliter Orang Sunda
Pengaruh Hindu dan Budha datang ke Pulau Jawa sekitar awal abad Masehi. Daerah yang pertama bersentuhan dengannya adalah Jawa Barat dengan pusat pemerintahan yang diduga berada di sekitar Karawang dan Bekasi sekarang. Pengaruh kedua agama ini tampaknya kurang begitu kuat merekat pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sangat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis, yaitu mengabdi pada Hyang Tunggal.

Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkais yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak terdapat tinggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Buddha, ini disebabkan karena sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun oleh para brahmana dan pedanda.

Cepatnya penyebaran agama Hindu dan Budha pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan konsep dan ajaran god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berpikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan yang mutlak yang mesti mendapat anutan karena raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas, yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-istilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama, dan lain-lain.

Kepatuhan kepada raja secara militan, selain berasal dari inti ajaran Hindu-Buddha itu sendiri, juga bersumber dari klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini tergambar dari stratifikasi yang muncul dalam masyarakat Jawa yang membuat dikotomi sosial secara tegas antar kelas seperti ningrat atau priyayi dan wong cilik. Penghayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya pengkelasan sosial secara tajam ini berakibat pada sulitnya atau tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya termasuk dalam persoalan agama.

Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran. Karena itu, sifat dari kebudayaan Jawa adalah kebudayaan keraton di mana keraton berfungsi sebagai titik sentral agama, politik, dan kebudayaan.

Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat di mana posisi keraton tidak terlalu menentukan dalam pembentukan suatu varitas budaya. Jenis kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Dengan kata lain, kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang hierarkis, sedangkan kebudayaan Sunda dapat dianggap sebagai kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan pada kesamaan derajat antarmanusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis masa pra-Mataram di mana tidak ada hierarki bahasa seperti terlihat dalam undak-usuk sekarang. Istilah menak dan cacah juga dalam masyarakat Sunda ditemukan sebagai bentuk pengaruh kekuasaan dan kebudayaan Jawa di Tatar Priangan sejak masa kekuasaan Mataram.

Contoh lain yang dapat diajukan dalam mempertegas pendapat ini adalah dalam seni pewayangan atau pedalangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabharata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi.

Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan atau pedalangan yang memainkan dua epos besar tadi hanya merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktivitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan dengan etika Hindu-Buddha yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya.

Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat ini, justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur dan kepercayaan mereka, yaitu Islam. Ketika Islam datang ke Tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa orang Sunda merupakan kelompok yang paling akhir menerima Islam di seputar Tanah Jawa, ini bukan berarti sifat konfrontatifnya terhadap Islam, melainkan karena sosialisasi Islam yang agak terlambat ke wilayah ini.

Gabungan fenomena di atas, yaitu egalitarianisme masyarakat Sunda, komunikasi yang sejajar (demokratis) antara raja dan rakyatnya, serta dikuatkan oleh pengaruh Islam yang luas setelahnya, menjadi alasan sosial tidak ditemukannya banyak candi di tatar Sunda. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi penguasa rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan yang eksklusif dan kokoh yang jauh dari rakyatnya.

Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di Tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris, fokus sesembahan dan penghormatan masyarakat lebih langsung kepada alam dan ke Sanghyang ketimbang kepada para raja.

3. Hanya Satu Kerajaan
Di Nusantara, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, melainkan juga berfungsi sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antarkerajaan telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan, selalu diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika hari ini kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu.

Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan sebuah kerajaan seperti ini, tidak terjadi di Tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di Tatar Sunda hanya satu, yaitu Kerajaan Sunda; cuma pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Pajajaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis), dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda itu tersentralisasi dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu, tetapi—paling tidak hingga saat ini—keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, selain proses rekonstruksinya masih kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan Kerajaan Sunda. Kekuasaan yang tunggal, yaitu Kerajaan Sunda, adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di Tatar Priangan.

Dengan demikian, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu mengekspresikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika Kerajaan Madjapahit berada di puncak kekuasaannya, Kerajaan Sunda tidak pernah takluk di bawah pengaruhnya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep teologis, dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dengan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan dan bahkan ketiadaan candi di Tatar Sunda memang sudah semestinya.

Inilah kekhasan lokal dan kekayaan tradisi kekuasaan di Sunda. Masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” kelangkaan candi di Jawa Barat sebagai sebuah indikasi rendahnya peradaban dan sebaliknya banyaknya candi sebagai indikasi prestasi peradaban. Persepsi ini justru sebuah sikap “minder kebudayaan” (cultural inferiority complex) di hadapan kebudayaan lain, sementara kebudayaan Sunda memiliki sistem sosial kebudayaan sendiri yang sesungguhnya lebih berorientasi pada nilai-nilai, religiusitas, dan hal-hal lain yang bersifat abstrak.


Sumber sekunder: http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/5
Sumber primer: http://artikel.uinsgd.ac.id/

Rabu, 02 Juni 2010

Istana Buitenzorg (Istana Bogor)

Kota Batavia (Jakarta kini) hingga pertengahan abad ke-18 sudah terlalu panas dan ramai sehingga orang-orang Belanda perlu mencari tempat-tempat yang berhawa sejuk di luar Batavia.

Pada tahun 1744, di tengah perjalanan menuju Cipanas untuk mendirikan lokasi istana baru, Gubernur Jendral Hindia-Belanda G.W. Baron van Imhoff menemukan sebuah tempat yang baik dan strategis di sebuah kampung yang bernama Kampong Baroe.

Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1745, Gubernur Jendral van Imhoff memerintahkan pembangunan pesanggarahan di tempat pilihannya itu dan diberi nama Villa Buitenzorg, yang berarti “bebas masalah” bebas dari kesulitan”. Dia sendiri yang membuat sketsa bangunannya dengan mencontoh arsitektur Blenheim Palace, kediaman Duke of Malborough (dibangun antara 1705—1722), dekat dengan Kota Oxford di Inggris. Dengan Surat Keputusan Dewan Direksi VOC di Amsterdam tanggal 7 Juni 1745, lahan di sekitar Buitenzorg yang diusulkan Van Imhoff dijadikan semacam “tanah bengkok” yang harus dibeli oleh tiap gubernur jendral baru kepada pejabat lama yang digantikannya.

Proses pembangunan gedung itu dilanjutkan oleh gubernur jendral yang memerintah selanjutnya yaitu Jacob Mossel (1750—1761) yang membelinya dari Van Imhoff.

Dalam perjalanan sejarahnya, bangunan ini sempat mengalami kerusakan berat akibat serangan rakyat Banten yang anti-Kompeni di bawah pimpinan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang, yang disebut Perang Banten (1750—1754).

Pada masa Gubernur Jendral Willem Daendels (1808—1811), pesanggrahan tersebut diperluas dengan memberikan penambahan bangunan di sebelah kiri dan kanan gedung utama. Gedung induknya dijadikan dua tingkat. Pada masa Inggris berkuasa di bawah Stamford Raffles, halamannya yang luas juga dipercantik menjadi taman bergaya Inggris klasik dan enam pasang rusa tutul dari perbatasan India dan Nepal didatangkan untuk menempati taman itu.

Pada masa Gubernur Jendral Baron van der Capellen (1817—1826), perubahan besar-besaran dilakukan. Sebuah menara di tengah-tengah gedung induk didirikan sehingga istana semakin megah, sedangkan lahan di sekeliling Istana dijadikan Kebun Raya yang peresmiannya dilakukan pada 18 Mei 1817.

Gedung ini kembali mengalami kerusakan berat ketika terjadi gempa bumi pada 10 Oktober 1834.

Pada masa Gubernur Jendral Albertus Yacob Duijmayer van Twist (1851—1856), bangunan lama sisa gempa dirubuhkan sama sekali. Setelah itu, dengan mengambil arsitektur eropa Abad IX, bangunan baru satu tingkat didirikan. Perubahan lainnya adalah penambahan dua buah jembatan penghubung antara gedung induk dan gedung sayap kanan serta sayap kiri yang dibuat dari kayu berbentuk lengkung. Bangunan istana baru terwujud secara utuh pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Charles Ferdinand Pahud de Montager (1856—1861). Pada pemerintahan selanjutnya, tepatnya tahun 1870, Istana Buitenzorg ditetapkan sebagai kediaman resmi para gubernur jendral Hindia-Belanda.

Minggu, 30 Mei 2010

Terputusnya Sejarah Bogor

Tanggal 3 Juni 2010, Kota Bogor genap berusia 528 tahun, sebuah usia yang sudah tidak bisa dikatakan muda untuk ukuran sebuah kota. Banyak kota seusia ini yang telah cukup maju dan berhasil menata diri sebagai sebuah kota yang membuat masyarakat di dalamnya sejahtera dan berbangga diri dengan kotanya.

Mungkin di antara ratusan ribu warga Bogor hanya sekian orang yang mengetahui kapan kotanya berulang tahun dan berapa tahun usianya. Sangat naif memang, tapi itulah yang terjadi.

Mungkin banyak di antara warga Bogor yang tidak mengetahui bahwa di wilayahnya pernah berdiri sebuah kerajaan Hindu pertama di Pulau Jawa, yaitu Kerajaan Tarumanagara. Walaupun letak pusat kerajaannya masih menjadi perdebatan beberapa pakar sejarah, beberapa peninggalan patut menjadi catatan tersendiri dan menjadi perhatian berbagai pihak. Misalnya, beberapa prasasti di Ciaruteun, Ciampea.

Mungkin banyak juga di antara warga Bogor yang tidak mengetahui bahwa di Bogor ini pernah berdiri sebuah kerajaan terbesar di wilayah Jawa Barat yang tidak pernah jatuh ke dalam kekuasaan Majapahit, yaitu Kerajaan Pajajaran. Amukti Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada untuk menaklukkan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit, ternyata tidak mampu menyentuh sedikit pun wilayah Pajajaran yang waktu itu berbatasan dengan Kerajaan Majapahit di daerah Cilacap. Seluruh Nusantara berhasil takluk di bawah kekuasaan Majapahit kecuali Pajajaran.

Bogor kini menjadi sebuah kota yang pembangunannya berkembang sangat pesat dan menjadi magnet bagi banyak orang untuk tinggal di wilayahnya, didiami oleh berbagai strata sosial masyarakat, baik warga yang telah turun-temurun menjadi penduduk Bogor maupun para pendatang yang berasal dari berbagai pelosok wilayah Indonesia dan mancanegara. Hal ini menyebabkan masyarakat Bogor sangat heterogen. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan banyak di antara warga Bogor yang kurang mengetahui dan mengerti sejarah serta perkembangan Bogor.

Sejarah dan perkembangan Kota Bogor jangan sampai dilupakan oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Bagaimanapun juga, sejarah dan perkembangan Kota Bogor adalah sebuah pola dan dasar bagi perkembangan pembangunan Kota Bogor untuk saat ini dan masa depan.

Masyarakat Kota Bogor memang seperti telah terputus dengan sejarah wilayahnya. Tidak seperti kota dan wilayah lain yang masih terhubung dengan masa lalunya. Sisa masa lalu kota-kota tersebut masih terbaca dan terjamah, tidak seperti masa lalu Bogor. Ada sebuah mata rantai yang terputus dan kabut yang menghalangi sehingga masa lalu Bogor tak tampak oleh generasi sekarang.

Sejarah Bogor memang sempat terputus sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran karena serangan Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf pada tahun 1579. Prabu Ragamulya Suryakancana sebagai raja Pajajaran waktu itu memilih Pajajaran hancur daripada takluk di bawah kekuasaan Kerajaan Banten. Karena dihujani meriam berhari-hari, akhirnya benteng kota dan istana Pajajaran hancur lebur dan menyisakan reruntuhan yang tidak mungkin ditinggali lagi. Maulana Yusuf kemudian menjadikan wilayah Purasaba Pakuan (bekas keraton Pajajaran di sekitar Bondongan) sebagai daerah larangan (ambogori). Akhirnya wilayah Purasaba Pakuan menjadi daerah mati yang berpuluh-puluh tahun tidak dihuni oleh penduduk.
Pustaka Nusantara III/1 dan Negara Kertabhumi I/II memberitahukan tentang keruntuhan ini,

Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa weshakamasa sewu limanatus punjul siki ikang cakakala (Pajajaran sirna pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka [diperkirakan tanggal 8 Mei 1579/Sabtu, 1 Muharram tahun alif].).”

Wilayah Bogor mulai menjadi perhatian ketika sisa-sisa keruntuhan Pajajaran ditemukan oleh pemerintah Hindia Belanda lewat ekspedisi yang dipimpjn oleh Scipio pada tahun 1687 dan Adolf Winkler pada tahun 1690.

Penemuan wilayah ini ditindaklanjuti oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan membuka wilayah Bogor sebagai sebuah tempat peristirahatan bagi warga Belanda yang berada di Batavia. Oleh pemerintah Hindia Belanda, wilayah Bogor ini dinamai Buitenzorg yang berarti “tanpa kecemasan" atau "aman tenteram”. Dibukalah lahan-lahan untuk tempat tinggal dan peristirahatan, misalnya Istana Bogor sebagai tempat peristirahatan gubernur jenderal Hindia Belanda pada waktu itu, kompleks perumahan di Kota Paris, Kompleks perumahan di sekitar Taman Kencana, kompleks perumahan di daerah Sempur, dan lain-lain.

Mengetahui wilayah Bogor berpotensi untuk kawasan perkebunan dan pertanian, akhirnya pemerintah Hindia-Belanda mendirikan tempat-tempat penelitian tanaman dan hewan (Lands Plantentuin, Veeartsenijkundig Instituut), laboratorium, sekolah pertanian dan perkebunan (De Middelbare Landbouwschool), sekolah peternakan, institut kedokteran hewan (Nederlands-Indische Veeartsenschool), sekolah perikanan (Landbouwopleiding en Visvijvers), serta membuka lahan perkebunan dan pertanian dalam skala luas di wilayah Bogor (teh, kopi, karet).

Pada zaman Hindia-Belanda, Bogor terkenal sebagai pusat pengembangbiakan kuda pacu. Tak heran jika di Bogor pada waktu itu terdapat tempat pacuan kuda yang cukup besar pada zamannya.

Inilah sepintas perjalanan sejarah Bogor yang semakin hari semakin bergeser dari perkembangan awal dan potensi yang dimilikinya. Area pertanian, persawahan, dan peternakan di wilayah Bogor semakin menyempit. Sekolah pertanian dan peternakan semakin redup dan hilang ditelan kepentingan kapitalis. Tanah suburnya akhirnya banyak tertutupi semen untuk kepentingan industri, perumahan, dan perdagangan.

Yang tumbuh sekarang adalah wilayah pemukiman yang tidak terkendali, pertokoan besar yang semakin mematikan para pedagang kecil-tradisional, industri yang menempati wilayah yang bukan tempat semestinya, dan tata ruang kota yang tidak jelas arahnya. Sejuknya kota Bogor semakin hari semakin pudar, digantikan oleh panas menyengat di siang hari. Kemacetan semakin merajalela di hampir semua ruas jalan. Kandungan air tanah yang melimpah di wilayah Bogor menjadi “bancakan” para industri air mineral yang haus dan rakus menyedotnya.

Beberapa tahun ke depan, entah seperti apa wajah kota Bogor, apakah semakin indah, sejuk, dan nyaman, ataukah semakin semrawut dan menjadi “bancakan” berbagai pihak.

Bogor, 30 Mei 2010

Rabu, 26 Mei 2010

Mengenal Bogor Lebih Dekat

Wilayah Bogor dibagi menjadi dua: Kotamadya Bogor dan Kabupaten Bogor.

I. Kotamadya Bogor adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dan wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Luasnya 21,56 km², sedangkan jumlah penduduknya 834.000 jiwa (2003).

Bogor dikenal dengan julukan kota hujan karena memiliki curah hujan yang sangat tinggi.

Hari jadi Kabupaten Bogor dan Kota Bogor diperingati setiap tanggal 3 Juni karena tanggal 3 Juni 1482 merupakan hari penobatan Prabu Siliwangi sebagai raja dari Kerajaan Pajajaran.

Bogor (berarti "enau") telah lama dikenal dijadikan pusat pendidikan dan penelitian pertanian nasional. Di sinilah berbagai lembaga dan balai-balai penelitian pertanian dan biologi berdiri sejak abad ke-19. Salah satunya adalah Institut Pertanian Bogor, yang berdiri sejak awal abad ke-20. Ada juga Sekolah Tinggi Perikanan.

Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan, yang dibagi lagi menjadi 68 kelurahan. Pada masa kolonial Belanda, Bogor dikenal dengan nama Buitenzorg (pengucapan: boit'n-zôrkh, bœit'-) yang berarti "tanpa kecemasan" atau "aman tenteram".

Letak

Kota Bogor terletak di antara 106°43’30”BT - 106°51’00”BT dan 30’30”LS – 6°41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibu kota kurang lebih 60 km.

Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,5 km² dan mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh di bawah permukaan dataran, yaitu: Ci (Sungai) Liwung, Ci Sadane, Ci Pakancilan, Ci Depit, Ci Parigi, dan Ci Balok. Topografi yang demikian menjadikan Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir alami.

Batas Wilayah

Kota Bogor berbatasan dengan kecamatan-kecamatan dari Kabupaten Bogor sebagai berikut.
Utara: Sukaraja, Bojonggede, dan Kemang
Timur: Sukaraja dan Ciawi
Selatan: Cijeruk dan Caringin
Barat: Kemang dan Dramaga

Iklim, Topografi, dan Geografi

Kota Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330m dari permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26°C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di Bogor adalah 21,8 °C, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Arah mata angin dipengaruhi oleh angin muson. Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi oleh angin muson barat.

Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0–15% dan sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15–30%. Jenis tanah hampir di seluruh wilayah adalah latosol cokelat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Bogor terletak pada kaki Gunung Salak dan Gunung Gede sehingga sangat kaya akan hujan orografi. Angin laut dari Laut Jawa yang membawa banyak uap air masuk ke pedalaman dan naik secara mendadak di wilayah Bogor sehingga uap air langsung terkondensasi dan menjadi hujan. Hampir setiap hari turun hujan di kota ini dalam setahun (70%) sehingga dijuluki "Kota Hujan". Keunikan iklim lokal ini dimanfaatkan oleh para perencana kolonial Belanda dengan menjadikan Bogor sebagai pusat penelitian botani dan pertanian, yang diteruskan hingga sekarang.

Kedudukan geografi Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara, Jakarta, membuatnya strategis dalam perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Kebun Raya dan Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang menarik. Kedudukan Bogor di antara jalur tujuan Puncak/Cianjur juga merupakan potensi strategis bagi pertumbuhan ekonomi.

Sejarah

Abad Kelima

Ditilik dari sejarahnya, Bogor adalah tempat berdirinya kerajaan pertama yang dikenal di Indonesia, yaitu Kerajaan Hindu Tarumanagara pada abad kelima. Beberapa kerajaan lainnya lalu memilih untuk bermukim di tempat yang sama dikarenakan daerah pegunungannya yang secara alamiah membuat lokasi ini mudah untuk bertahan terhadap ancaman serangan dan disaat yang sama adalah daerah yang subur serta memiliki akses yang mudah pada sentra-sentra perdagangan saat itu. Namun hingga kini, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa arkeolog ternama seperti Prof. Uka Tjandrasasmita, keberadaan tepat dan situs penting yang menyatakan eksistensi kerajaan tersebut hingga kini masih belum ditemukan bukti otentiknya.

Kerajaan Pajajaran

Di antara prasasti-prasasti yang ditemukan di Bogor tentang kerajaan-kerajaan yang silam, salah satunya adalah prasasti tahun 1533, yang menceritakan kekuasaan Raja Prabu Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran, salah satu kerajaan yang paling berpengaruh di pulau Jawa. Prasasti ini dipercayai memiliki kekuatan gaib, keramat, dan dilestarikan hingga sekarang.

Pakwan yang merupakan ibu kota pemerintahan Kerajaan Pajajaran diyakini terletak di Kota Bogor dan menjadi pusat pemerintahan Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji I Pakuan Pajajaran) yang dinobatkan pada 3 Juni 1482. Hari penobatannya ini diresmikan sebagai hari jadi Bogor pada tahun 1973 oleh DPRD Kabupaten dan Kota Bogor, dan diperingati setiap tahunnya hingga saat ini.

Zaman Kolonial Belanda

Setelah penyerbuan tentara Banten, catatan mengenai Kota Pakuan hilang dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeck pada tahun 1687. Mereka melakukan penelitian atas Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya, dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Kota Bogor.

Pada tahun 1745, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff membangun Istana Bogor seiring dengan pembangunan Jalan Raya Daendels yang menghubungkan Batavia dengan Bogor. Bogor direncanakan sebagai sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal. Dengan pembangunan-pembangunan ini, wilayah Bogor pun mulai berkembang.

Setahun kemudian, van Imhoff menggabungkan sembilan distrik (Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga, dan Kampung Baru) ke dalam satu pemerintahan yang disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Di kawasan itu, van Imhoff kemudian membangun sebuah Istana Gubernur Jenderal. Dalam perkembangan berikutnya, nama Buitenzorg dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.

Ketika VOC bangkrut pada awal abad kesembilan belas, wilayah Nusantara dikuasai oleh Inggris di bawah kepemimpinan Gubernur Jendral Thomas Rafless yang merenovasi Istana Bogor dan membangun tanah di sekitarnya menjadi Kebun Raya (Botanical Garden). Di bawah Rafles, Bogor juga ditata menjadi tempat peristirahatan yang dikenal dengan nama Buitenzorg yang diambil dari nama salah satu spesies palem.

Hindia Belanda

Setelah pemerintahan kembali kepada pemerintah Belanda pada tahun 1903, terbit Undang-Undang Desentralisasi yang menggantikan sistem pemerintahan tradisional dengan sistem administrasi pemerintahan modern, yang menghasilkan Gemeente Buitenzorg.

Pada tahun 1925, dibentuk Provinsi Jawa Barat (Provincie West Java) yang terdiri atas 5 karesidenan, 18 kabupaten dan kotapraja (stadsgemeente). Buitenzorg menjadi salah satu stadsgemeente.

Zaman Jepang

Pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, pemerintahan Kota Bogor menjadi lemah setelah pemerintahan dipusatkan pada tingkat karesidenan.

Pascakemerdekaan

Pada tahun 1950, Buitenzorg menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1950.

Pada tahun 1957, nama pemerintahan diubah menjadi Kota Praja Bogor, sesuai Undang-Undang nomor 1 tahun 1957.

Kota Praja Bogor berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor, dengan Undang-Undang nomor 18 tahun 1965 dan Undang-Undang nomor 5 tahun 1974.

Kotamadya Bogor berubah menjadi Kota Bogor pada tahun 1999 dengan berlakunya Undang-Undang nomor 22tahun 1999.


Tempat-Tempat Menarik dan Pariwisata

Kebun Raya Bogor

Sebuah kebun penelitian besar yang terletak di Kota Bogor, Indonesia. Luasnya mencapai 80 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Saat, ini Kebun Raya Bogor ramai dikunjungi sebagai tempat wisata, terutama pada hari Sabtu dan Minggu. Di sekitar Kebun Raya Bogor tersebar pusat-pusat keilmuan, yaitu Herbarium Bogoriense, Museum Zoologi, dan IPB.

Istana Bogor

Merupakan salah satu dari enam Istana Presiden Republik Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri. Keunikan ini dikarenakan aspek historis, kebudayaan, dan fauna yang menonjol. Salah satunya adalah adanya rusa-rusa yang indah yang didatangkan langsung dari Nepal dan tetap terjaga dari dulu sampai sekarang.

Prasasti Batu Tulis

Merupakan prassati peninggalan zaman Kerajaan Pajadjaran yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno yang isinya menyebutkan Raja Pakuan Pajadjaran yang bernama Prabu Purana dinobatkan kembali dengan nama Sri Paduka Maharaja Ratu Haji dalam tahun yang tidak jelas karena ada huruf yang kosong sehingga ada berbagai macam penafsiran. Prasasti ini disimpan di tepi Jalan Raya Batutulis, Bogor, sekitar 2 km dari pusat kota.

CICO-Cimahpar Integrated Conservation Offices

Merupakan kawasan pendidikan dan konservasi dengan pendekatan kepada alam, terletak di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Kawasan ini memiliki beberapa fasilitas pendukung seperti gedung perkantoran, wisma, asrama (dormitory), serta kebun buah, sayur, dan tanaman obat. Tempat ini dilengkapi dengan fasilitas panjat tebing, kegiatan luar, dan area outbond. Kawasan ini didedikasikan untuk kepentingan konservasi.

Dramaga, Bogor

Terletak di bagian barat dari kota, tepatnya sekitar 12 Km dari pusat Kota Bogor. Wilayah Dramaga merupakan sentra produksi manisan basah dan kering, baik dari buah-buahan (pala, mangga, jambu batu, kemang, pepaya, kweni, salak, kedondong, atau caruluk) maupun dari bahan sayuran (wortel, labu siam, pare, lobak, bligo, serta ubi jalar).

Plaza Kapten Muslihat (Taman Topi)

Didalam Plaza Kapten Muslihat terdapat sebuah taman yang diberi nama Taman Ade Irma Suryani. Sebelumnya, taman ini memiliki nama Taman Kebon Kembang, tempat orang berwisata, namun pada tahun 1980-an, taman ini berubah fungsi menjadi terminal angkutan kota karena letaknya yang strategis di muka Stasiun Bogor. Terminal tersebut kemudian direnovasi menjadi Plaza Kapten Muslihat yang mengusung konsep Bangunan berbentuk topi sehingga masyarakat pun menyebutnya Taman Topi. Pada saat itu, Plaza Kapten Muslihat merupakan salah satu alternatif tempat berwisata sebelum ledakan mal dan plaza melanda Bogor. Taman Topi dilengkapi berbagai wahana permainan, namun pada sejak tahun 1994 sampai saat ini (tahun 2010) tempat ini menjadi tidak terawat baik karena dikepung oleh pedagang kaki lima dan angkutan kota. Di dalamnya juga terdapat Pusat Informasi Kepariwisataan atau Tourist Information Centre.

Taman Kencana

Adalah sebuah taman kecil yang digunakan untuk tempat rekreasi anak-anak kecil, kaum muda, maupun orang tua yang melepas lelah setelah capai berjalan-jalan di lapangan Sempur ataupun Kebun Raya. Taman ini ramai pada hari minggu saat para orang tua dan anak-anak sedang berlibur. Dahulu, di tengah Taman Kencana terdapat sebuah batu prasasti buatan yang berbentuk elips dan berukuran ±2×2×2 meter. Pada batu ini terdapat sebuah tulisan dalam bahasa Indonesia, tapi diukir menyerupai tulisan Sansekerta. Pada akhirnya batu tersebut diangkat kira-kira antara tahun 2000 sampai 2005.

Lapangan Sempur

Lapangan yang dahulu merupakan lahan kosong yang dipergunakan sebagai lapangan upacara untuk memperingati HUT Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus ini, sekarang sudah dikelola oleh Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bogor. Lapangan ini sekarang dijadikan sebagai tempat olah raga dan lapangan multifungsi. Di lapangan ini terdapat wall-climb, lapangan basket, lapangan utama untuk bermain bola dan soft/baseball, run-track, lapangan voli beralaskan pasir pantai, dan area untuk senam. Pada hari minggu, tempat ini akan menjadi pasar dadakan. Banyak pedagang makanan ataupun alat-alat yang menggelar dagangannya disini setiap hari Minggu. Lapangan ini kerap digunakan untuk berbagai even musik.


Rancamaya

Daerah ini terkenal sebagai penghasil buah durian yang sangat enak.

Situ Gede atau Setu Gede

Danau kecil di barat laut Kota Bogor, di tepi hutan penelitian CIFOR Dramaga, Bogor.

Kolam Renang

1. The Jungle Water Park

Merupakan gelanggang renang terbesar di kota Bogor. Letaknya di Bogor Nirwana Residence. Di The Jungle Water Park terdapat sebuah pusat perbelanjaan yaitu The Jungle Mall. Fasilitas di sana adalah waterboom dengan panjang kurang lebih 30—40 m. Selain itu juga terdapat ember raksasa goyang, seluncur dengan ketinggian kurang lebih 15—20 m, rumah hantu, turangga-rangga, bioskop The Jungle (bioskop 4 dimensi).

2. Marcopolo

Terletak di kawasan perumahan Cimanggu City.

Stasiun Kereta dan Bus

Stasiun Bogor

Merupakan stasiun utama Kota Bogor yang merupakan warisan dari zaman Belanda. Dahulu sekitar tahun 1960-an, stasiun ini melayani keberangkatan ke Yogyakarta melalui Sukabumi dan Bandung.

Terminal Baranang Siang

Berada tepat di depan pintu keluar tol Jagorawi.

Tempat Ibadah
Mesjid Raya Bogor
Gereja Katedhral
Klenteng Hok Tek Bio
Mesjid Agung Bogor

Museum dan Perpustakaan

Museum Etnobotani
Museum Etnobotani diresmikan pada tahun 1982 oleh Prof. DR. BJ. Habibie. Di dalamnya terdapat 2.000 artefak etnobotani dan berbagai diorama pemanfaatan flora.

Museum Zoologi
Museum Zoologi didirikan pada tahun 1894 dengan nama Museum Zoologicum Bogoriensis.

Herbarium Bogoriense
Terletak di Jalan Ir. H. Juanda, di sebelah Barat Kebun Raya Bogor. Di dalamnya tersimpan dan dipamerkan berbagai jenis daun dan buah yang telah dikeringkan, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri.

Museum Tanah
Museum Tanah didirikan pada tanggal 29 September 1988. Museum ini merupakan tempat penyimpanan jenis contoh tanah yang terdapat di Indonesia yang disajikan dalam ukuran kecil berupa makromonolit.

Museum Pembela Tanah Air (PETA)
Didirikan pada tahun 1996 oleh Yayasan Perjuangan Yanah Air dan diresmikan oleh H.M. Soeharto (Presiden RI ke2). Didalamnya terdapat 14 Diorama sebagai salah satu bentuk perwujudan dalam perjalanan proses pergerakan kebangsaan yang terjadi pada 3 Oktober 1943, bertempat di bekas Kesatriaan tentara KNIL/Belanda, Pabaton.

Museum Perjuangan

Berisi diorama dan peninggalan perang yang terjadi di Bogor dan sekitarnya.

Perpustakaan Botani

Didirikan pada tahun 1842 di dalam lingkungan Kebun Raya Bogor oleh ahli botani Belanda, Dr. J. Pierot. Koleksinya sekitar 300.000 jilid buku, 2.000 judul majalah ilmiah, dan lebih dari 100.000 barang cetakan lainnya. Koleksinya meliputi buku-buku ilmu pengetahuan alam murni dan praktis, dengan mengutamakan biologi, yang diperoleh dari hasil pertukaran dengan lembaga-lembaga ilmiah dan ahli-ahli botani dan biologi di seluruh dunia. Koleksi perpustakaan ini paling baik dan lengkap di Asia Tenggara.

Pertokoan
Mall Jambu Dua
Ekalokasari
Bogor Trade Mall
Botani Square
Taman Topi Square
Orchard Walk Arcade

Kota Kembar
St. Louis, Amerika Serikat
Shenzhen, Republik Rakyat Cina
Gödöllő, Hongaria

II. Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di utara; Kabupaten Karawang di timur, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di selatan, serta Kabupaten Lebak (Banten) di barat.

Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan.

Kabupaten Bogor secara garis besar terdiri atas tiga wilayah dan 40 kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut dibagi menjadi sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Bogor terletak di Kecamatan Cibinong, yang berada di sebelah utara Kota Bogor.

Adapun Daftar Wilayah dan Kecamatan di Kabupaten Bogor adalah:
Wilayah Timur:
Kecamatan Gunung Putri
Kecamatan Cileungsi
Kecamatan Klapanunggal
Kecamatan Jonggol
Kecamatan Sukamakmur
Kecamatan Cariu
Kecamatan Tanjungsari

Wilayah Tengah:
Kecamatan Gunung Sindur
Kecamatan Parung
Kecamatan Ciseeng
Kecamatan Kemang
Kecamatan Rancabungur
Kecamatan Bojonggede
Kecamatan Tajur Halang
Kecamatan Cibinong
Kecamatan Sukaraja
Kecamatan Dramaga
Kecamatan Cijeruk
Kecamatan Cigombong
Kecamatan Caringin
Kecamatan Ciawi
Kecamatan Megamendung
Kecamatan Cisarua
Kecamatan Citeureup
Kecamatan Babakan Madang
Kecamatan Ciomas
Kecamatan Tamansari

Wilayah Barat:
Kecamatan Jasinga
Kecamatan Parung Panjang
Kecamatan Tenjo
Kecamatan Cigudeg
Kecamatan Sukajaya
Kecamatan Nanggung
Kecamatan Leuwiliang
Kecamatan Leuwisadeng
Kecamatan Cibungbulang
Kecamatan Ciampea
Kecamatan Pamijahan
Kecamatan Rumpin
Kecamatan Tenjolaya

Wilayah timur Kabupaten Bogor merupakan kawasan favorit pengembangan wilayah pemukiman Jakarta saat ini. Alasan utama hal tersebut adalah karena telah dibukanya jalur jalan baru dari Cibubur menuju Bandung melewati Gunung Putri dan Cileungsi. Jalur ini belum memiliki nama resmi, sedangkan nama yang secara umum digunakan masyarakat adalah Jalan Alternatif Cibubur—Cileungsi.

Sejak dibukanya jalan alternatif tersebut, kompleks pemukiman modern dengan skala besar segera bermunculan sehingga harga tanah di kawasan ini menjadi salah satu yang termahal di Bodetabek. Kemunculan kompleks-kompleks pemukiman ini menyebabkan sangat banyak penduduk Kabupaten Bogor yang memiliki pekerjaan di Jakarta. Salah satu penduduk tersebut adalah Presiden keenam Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia tinggal di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri dan bekerja di Istana Merdeka.

Bagian utara Kabupaten Bogor merupakan dataran rendah (lembah Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane), sedang bagian selatan berupa pegunungan, dengan puncaknya: Gunung Halimun (1.764 m), Gunung Salak (2.211 m), dan Gunung Gede Pangrango (3.018 m) yang merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat.

Jalur Utama

Kabupaten Bogor dilintasi jalan tol Jakarta—Bogor—Ciawi (Jagorawi). Jalan tol ini adalah jalur wisata utama dari Jakarta menuju Bandung. Jalur ini melewati rute Jalan Tol Jagorawi--Puncak—Cianjur—Bandung. Jalur Ciawi—Puncak merupakan salah satu yang terpadat pada musim libur karena kawasan tersebut merupakan tempat berlibur warga Jakarta dan sekitarnya.

Apabila jalur wisata utama tersebut macet, yang biasanya terjadi pada hari-hari libur, rute alternatif melewati Cibubur—Cileungsi—Jonggol--Cariu—Cianjur—Bandung dapat digunakan.

Untuk angkutan kereta api, terdapat jalur KRL Jakarta-Bogor, di mana jalur kerata api ini berlanjut hingga ke Sukabumi, Cianjur, dan akhirnya di Padalarang. Jalur ini bersatu dengan jalur KA dari Cikampek yang kemudian akan menuju Bandung.

Objek Wisata
Puncak
Taman Safari
Kebun Raya Cibodas
Gunung Salak Endah (Gn. Bunder)
Gunung Gede Pangrango
Gunung Salak
Sirkuit Sentul
Taman Wisata Mekarsari

Taman Wisata Mekarsari berlokasi di Jonggol, Cileungsi dan merupakan salah satu pusat pelestarian keanekaragaman hayati buah-buahan tropika terbesar di dunia, khususnya jenis buah-buahan unggul yang dikumpulkan dari seluruh daerah di Indonesia. Selain kegiatan pelestarian, dilakukan juga penelitian budidaya (agronomi), pemuliaan (breeding), dan perbanyakan bibit unggul untuk kemudian disebarluaskan kepada petani dan masyarakat umum.

Kamis, 29 April 2010

Trip to Prasasti Ciaruteun

Pulang dari sebuah keperluan di daerah Ciampea, saya mampir di situs Batu Tulis Ciaruteun, Ciampea, Bogor. Dengan ditemani kuncen (juru kunci) situs tersebut yang bernama Pak Atma, saya mengunjungi situs-situs tersebut. Di Ciaruteun ada 4 (empat) situs, salah satunya masih terletak di tengah-tengah sungai, belum diangkat, dan belum diletakkan di tempat yang semestinya karena berbentuk prasasti dari batu yang sangat besar.

Situs pertama yang saya kunjungi adalah Prasasti Kebon Kopi (S006.52774 E106.69037), yang terletak di pinggir jalan desa, di samping sebuah sekolah dasar. Dinamakan prasasti Kebon Kopi karena prasasti ini ditemukan di kebun kopi milik seorang tuan tanah berkebangsaan Belanda, Jonathan Rig. Prasasti ini dibuat sekitar tahun 400 Masehi (H Kern 1917). Prasasti ini dikenal pula dengan Prasasti Tapak Gajah karena di atas prasasti itu terdapat cetakan sepasang kaki gajah dan tulisan jayavis halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam (Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa). Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra, dewa perang dan penguasa guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa, parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Diberitakan juga bahwa bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah.

Prasasti kedua yang saya kunjungi adalah Prasasti Ciaruteun. Letaknya di seberang Prasasti Kebon Kopi agak ke dalam melewati jalan setapak. Prasasti berupa batu besar seberat delapan ton itu tampak kokoh sekali bernaung di bawah cungkup. Sepasang pandatala (tapak kaki) tampak tercetak jelas pada bagian atasnya dihiasi sederet tulisan berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Konon, tapak kaki tersebut adalah bekas tapak kaki Maharaja Purnawarman yang memimpin dan menguasai kerajaan Tarumanegara.

Dari informasi yang diberikan oleh juru kunci lokasi tersebut, pada awalnya, prasasti tersebut terletak di pinggiran sungai yang terletak kurang lebih seratus meter di bawah lokasi batu prasasti tersebut berada saat ini. Pada 2 Juni 1981, batu itu diangkat dan diletakkan di bawah cungkup seperti yang terlihat sekarang. Karena lokasi awal batu tersebut di tepi Sungai Ciaruteun, batu tersebut dikenal dengan nama Prasasti Ciaruten.

Di atas Prasasti Ciaruteun terdapat tulisan berbentuk puisi empat baris vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam (kedua [jejak] telapak kaki yang seperti [telapak kaki] Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara).

Situs ketiga yang saya kunjungi adalah Situs Batu Congklak (Batu Dakon) (S006.52661 E106.69022). Berbeda dengan kedua prasasti sebelumnya, pada situs Batu Congklak sama sekali tidak ditemukan tulisan-tulisan. Di sekitar Situs Batu Congklak terdapat dua buah batu menhir kecil. Pemberian nama Batu Congklak karena batu-batu tersebut memiliki cekungan mirip permainan congklak yang telah lazim dikenal masyarakat. Di situs ini juga tidak terdapat cungkup yang menaunginya sehingga praktis akan terkena sinar matahari dan hujan secara langsung.

Tidak jauh dari situs Batu Congklak, kita akan menemukan beberapa batu bekas penyanggah kayu tiang bangunan. Biasanya, tiang rumah panggung selalu dialasi batu-batu yang menghubungkannya ke tanah agar kayu tiang tersebut tidak langsung bersentuhan dengan tanah. Batu ini berwarna putih dan sepertinya terbuat dari batu pualam atau marmer setengah jadi. Memang, di dekat situs ini ada gunung kapur, yang memungkinkan batu-batu ini diambil dari daerah ini. Di sekitar tanah warga, batu-batu penyangga ini banyak ditemukan dan sebelumnya banyak yang dihancurkan untuk bahan bangunan karena ketidaktahuan warga. Dengan adanya batu-batu penyangga ini, kemungkinan pusat kerajaan Tarumanegara berada di daerah ini. Dengan melihat sebaran batu-batu penyangga ini, istana Kerajaan Tarumanegara ini cukup luas.

Sekitar tiga ratus meter dari situs Batu Congklak ke arah utara, menyusuri kebun singkong dan jalan setapak di tepi sungai, terdapat Prasasti Batu Tulis (S006.52328 E106.69109). Ukuran prasasti ini paling besar dibandingkan dengan ketiga prasasti lainnya dan bagian bawahnya masih terendam aliran sungai. Ukurannya yang cukup besar dan tentunya mempunyai bobot yang lebih berat ini pulalah yang menjadi alasan belum dipindahkan ke lokasi yang lebih memadai. Sederet tulisan dalam bahasa Sangsekerta juga terlihat cukup jelas pada batu ini, namun sayang sekali tidak ada literatur yang menjelaskan maknanya.




Secara keseluruhan, Prasasati Ciaruteun merupakan objek wisata yang mengandung nilai sejarah cukup menarik untuk dikunjungi. Sementara ini, yang baling banyak berkunjung ke Prasasti Ciaruteun adalah kunjungan siswa-siswa dari sekolah-sekolah di Bogor dan peneliti serta turis dari mancanegara, khususnya Jepan, Korea, dan Taiwan.


Bogor, 2009

Dadi M.H.B.

Rabu, 28 April 2010

Menelusuri Nama Bogor

Tah di dinya, ku andika adegkeun eta dayeuh (di tempat itu, dirikanlah olehmu sebuah kota)

laju ngaranan Bogor (lalu beri nama Bogor)
sabab bogor teh hartina tunggul kawung (sebab bogor itu artinya pokok enau)

Ari tunggul kawung (pokok enau itu)
emang ge euweuh hartina (memang tak ada artinya)
euweuh soteh ceuk nu teu ngarti (tidak ada [artinya] bagi yang tidak paham)

Ari sababna, ngaran mudu Bogor (sebabnya harus bernama Bogor)
sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung (sebab bogor itu dibuat kayu bakar tak mau menyala)
teu melepes tapi ngelun (tapi tidak padam, terus membara)
haseupna teu mahi dipake muput (asapnya tak cukup untuk "muput")

Tapi amun dijieun tetengger (tapi kalau dijadikan penyangga rumah)
sanggup nungkulan windu (mampu melampaui waktu)
kuat milangan mangsa (sanggup melintasi zaman)

Mun kadupak (kalau tersenggol)
matak borok nu ngadupakna (bisa membuat koreng yang menyenggolnya)
moal geuwat cageur tah inyana (membuat koreng yang lama sembuhnya)

Mun katajong? (kalau tertendang?)
mantak bohak nu najongna (bisa melukai yang menendangnya)
moal geuwat waras tah cokorna (tidak akan cepat sembuh kakinya)

Tapi, amun dijieun kekesed? (tapi kalau dibuat keset?)
sing nyaraho (semuanya harus tahu)
isukan jaga pageto (besok atau lusa)
bakal harudang pating kodongkang (bakal bangkit berkeliaran)
nu ngawarah si calutak (menasihati yang tidak sopan)

Tah, kitu! (Begitulah)
ngaranan ku andika eta dayeuh (beri nama olehmu itu kota)
Dayeuh Bogor! (Kota Bogor)


(Pantun Pa Cilong, Ngadegna Dayeuh Pajajaran)


Ada lima pendapat tentang asal nama Bogor.

  1. Berasal dari salah ucap orang Sunda untuk "Buitenzorg" yaitu nama resmi Bogor pada masa penjajahan Belanda.
  2. Berasal dari baghar atau baqar yang berarti sapi karena di dalam Kebun Raya ada sebuah patung sapi.
  3. Berasal dari kata bokor yaitu sejenis bakul logam (tidak memiliki alasan yang jelas).
  4. Berasal dari kata bogor yang berarti tunggul kawung (enau atau aren).
  5. Berasal dari kata ambogori yang berarti “daerah larangan”.

Pendapat pertama hingga keempat telah dibahas di berbagai situs internet maupun buku. Pendapat pertama hingga ketiga sangat lemah sehingga pendapat-pendapat ini diabaikan. Adapun pendapat keempat memiliki dukungan kuat terhadap latar belakang nama “Bogor”, yaitu pendapat yang berasal dari Pantun Pa Cilong.

Dalam pantun itu dikemukakan bahwa kata bogor berarti "tunggul kawung". Keadaan yang sama dapat ditemui pada nama tempat "Tunggilis" yang terletak di tepi jalan antara Cileungsi dengan Jonggol. Kata tunggilis berarti tunggul atau pokok pinang yang secara kiasan diartikan menyendiri atau hidup sebatang kara.

Di Jawa Barat banyak tempat bernama Bogor, seperti yang bisa ditemukan di Sumedang dan Garut. Demikian pula di Jawa Tengah, sebagaimana dicatat Prof. Veth dalam buku Java. Dengan demikian, memang agak sulit menerima teori "buitenzorg", "baghar", dan "bokor".

Bogor selain berarti tunggul enau, juga berarti daging pohon kawung yang biasa dijadikan sagu (di daerah Bekasi). Dalam bahasa Jawa, "bogor" berati pohon enau dan kata kerja dibogor berarti disadap. Dalam bahasa Jawa Kuno, "pabogoran" berarti kebun enau. Dalam bahasa Sunda umum, menurut Coolsma, "bogor" berarti droogetapte kawoeng (pohon enau yang telah habis disadap) atau bladerlooze en taklooze boom (pohon yang tak berdaun dan tak bercabang). Jadi, sama dengan pengertian kata "pugur" atau "pogor".

Nama Bogor dapat ditemui pada sebuah dokumen tertanggal 7 April 1752. Dalam dokumen tersebut tercantum nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de negorij Bogor (kepala kampung Bogor). Dalam tahun tersebut, ibukota Kabupaten Bogor masih berkedudukan di Tanah Baru. Dua tahun kemudian, Bupati Demang Wiranata mengajukan permohonan kepada Gubernur Jacob Mossel agar diizinkan mendirikan rumah tempat tinggal di Sukahati di dekat "Buitenzorg". Kelak, karena di depan rumah Bupati Bogor tersebut terdapat sebuah kolam besar (empang), nama "Sukahati" diganti menjadi "Empang".

Letak Kampung Bogor yang pertama itu berada di dalam Kebun Raya, tepatnya di lokasi tanaman kaktus sekarang. Adapun pasar yang didirikan di kampung tersebut oleh penduduk disebut Pasar Bogor.

Pendapat kelima merupakan pendapat yang saya temukan dalam buku Nyucruk Galur Mapay Raratan Siliwangi jilid II karya Hilman Hafidz.

Kerajaan Pajajaran jatuh ke tangan pasukan Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf. Raja Pajajaran pada waktu itu adalah Prabu Ragamulya Suryakancana. Kerajaan Pajajaran hancur lebur karena dihujani meriam oleh pasukan Kerajaan Banten.

Setelah beberapa waktu tinggal di Pakuan, Sultan Maulana Yusuf kembali ke Banten dengan membawa “Watutu Gigilang” yang merupakan batu tempat penobatan raja. Sebelum kepulangannya, ia menyatakan bahwa daerah Purasaba Pakuan sebagai daerah larangan (ambogori). Lama kelamaan, kata ini berubah menjadi "bogor".

Pustaka Nusantara III/1 dan Negara Kertabhumi I/II memberitahukan tentang keruntuhan Pajajaran,

Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa weshakamasa sewu limangatus punjul siki ikang cakakala.”

Artinya:

“Pajajaran sirna pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 Saka [diperkirakan pada 8 Mei 1579/Sabtu, 1 Muharram tahun alif]).”


Dadi M.H.B.
Dari beberapa sumber
Di atas meja kerja, 15 Maret 2010