Selasa, 10 Agustus 2010

Jawaban atas Kelangkaan Candi di Tatar Sunda

Bertahun-tahun terpendam sebuah pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban pasti. Pertanyaan ini mungkin ada juga di benak para pemerhati sejarah. Pertanyaan itu adalah tentang tidak ditemukannya peninggalan candi di wilayah Jawa Barat atau Tatar Sunda.
Tatar Sunda memiliki sederet panjang sejarah yang menarik dan unik. Menurut sebagian kalangan (meskipun ini perlu penelitian lebih lanjut), di Tatar Sundalah tempat lahirnya kerajaan tertua di Nusantara, yaitu Kerajaan Salaka Nagara, bukan Kerajaan Kutai. Tatar Sunda pula yang menjadi tempat berdirinya kerajaan tertua di Pulau Jawa, yaitu Tarumanagara. Tatar Sunda pula yang menjadi satu-satunya wilayah di Nusantara yang tidak jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Tercatat beberapa kerajaan besar dan kerajaan kecil muncul di Tatar Sunda, di antaranya: Tarumanagara, Pakuan Pajajaran, Galuh, Sunda, Sumedang Larang, Kutatanggeuhan, Cirebon, Banten, dan lain-lain.

Meskipun banyak berdiri kerajaan, kita sulit menemukan peninggalan sejarah berupa candi atau arca di Tatar Sunda ini. Yang ditemukan hanyalah prasasti, punden berundak, dan petilasan. Memang ditemukan sebuah candi di daerah Leles, Garut, yaitu candi Cangkuang, tetapi candi ini pun masih diliputi beberapa misteri yang belum terungkap, yaitu siapa pendirinya, kapan didirikannya, apa jenis candinya, dan sebagainya.

Memang, akhir-akhir ini ditemukan beberapa candi di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung dan Batujaya, Karawang. Akan tetapi, penemuan candi-candi tersebut masih belum menjawab pertanyaan misteri selama ini, yaitu “mengapa di Tatar Sunda sangat langka ditemukan candi-candi peninggalam kerajaan-kerajaan masa lampau seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur?”

Beberapa ahli sejarah dan arkeologi berusaha memaparkan penyebab tersebut. Di antaranya sebagai berikut.

1. Monoteisme Orang Sunda
Dari berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi terkini, Jawa Barat atau kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mendapat pengaruh Hindu dan Budha dari India. Aktivitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang Sunda adalah orang pertama di Indonesia yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan dalam hubungan sosial antara masyarakatnya.

Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai diterima oleh kalangan elite politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para ningrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang.

Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra-Hindu, Hyang (Sanghyang, Sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat memengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu, atau di tempat-tempat dan benda-benda lainnya. Hyang mengusai seluruh roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep keesaan Hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang ini; kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra-Hindu-Budha sudah menganut paham monoteistis di mana Hyang dihayati sebagai mahapencipta dan penguasa tunggal di alam. Konsepsi ini sama dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses islamisasi di Nusantara. Istilah "sembahyang" pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.

Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda, ajaran Hindu memengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi/pembauran teologis. Ini tergambar dalam hierarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya: “Anak satia babakti ka bapak; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu nanganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep Hyang merupakan konsep yang memang sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum pengaruh Hindu dan Buddha tersebut datang.

Tradisi sesembahan orang Sunda pra-Hindu-Buddha bukan terpusat di candi, melainkan menyembah Hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak menyebut tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam, mulai dari para Dewa Lokapala (Pelindung Dunia) sampai Pwah Sanghyang Sri (Dewi Padi), Pwah Naga Nagini (Dewi Bumi), dan Pwah Soma Adi (Dewi Bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah Hyang bisa sebutkan sebagai salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di Tatar Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap Hyang yang monoteistik, tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

2. Tradisi Egaliter Orang Sunda
Pengaruh Hindu dan Budha datang ke Pulau Jawa sekitar awal abad Masehi. Daerah yang pertama bersentuhan dengannya adalah Jawa Barat dengan pusat pemerintahan yang diduga berada di sekitar Karawang dan Bekasi sekarang. Pengaruh kedua agama ini tampaknya kurang begitu kuat merekat pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sangat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis, yaitu mengabdi pada Hyang Tunggal.

Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkais yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak terdapat tinggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Buddha, ini disebabkan karena sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun oleh para brahmana dan pedanda.

Cepatnya penyebaran agama Hindu dan Budha pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan konsep dan ajaran god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berpikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan yang mutlak yang mesti mendapat anutan karena raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas, yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-istilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama, dan lain-lain.

Kepatuhan kepada raja secara militan, selain berasal dari inti ajaran Hindu-Buddha itu sendiri, juga bersumber dari klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini tergambar dari stratifikasi yang muncul dalam masyarakat Jawa yang membuat dikotomi sosial secara tegas antar kelas seperti ningrat atau priyayi dan wong cilik. Penghayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya pengkelasan sosial secara tajam ini berakibat pada sulitnya atau tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya termasuk dalam persoalan agama.

Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran. Karena itu, sifat dari kebudayaan Jawa adalah kebudayaan keraton di mana keraton berfungsi sebagai titik sentral agama, politik, dan kebudayaan.

Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat di mana posisi keraton tidak terlalu menentukan dalam pembentukan suatu varitas budaya. Jenis kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Dengan kata lain, kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang hierarkis, sedangkan kebudayaan Sunda dapat dianggap sebagai kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan pada kesamaan derajat antarmanusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis masa pra-Mataram di mana tidak ada hierarki bahasa seperti terlihat dalam undak-usuk sekarang. Istilah menak dan cacah juga dalam masyarakat Sunda ditemukan sebagai bentuk pengaruh kekuasaan dan kebudayaan Jawa di Tatar Priangan sejak masa kekuasaan Mataram.

Contoh lain yang dapat diajukan dalam mempertegas pendapat ini adalah dalam seni pewayangan atau pedalangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabharata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi.

Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan atau pedalangan yang memainkan dua epos besar tadi hanya merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktivitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan dengan etika Hindu-Buddha yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya.

Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat ini, justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur dan kepercayaan mereka, yaitu Islam. Ketika Islam datang ke Tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa orang Sunda merupakan kelompok yang paling akhir menerima Islam di seputar Tanah Jawa, ini bukan berarti sifat konfrontatifnya terhadap Islam, melainkan karena sosialisasi Islam yang agak terlambat ke wilayah ini.

Gabungan fenomena di atas, yaitu egalitarianisme masyarakat Sunda, komunikasi yang sejajar (demokratis) antara raja dan rakyatnya, serta dikuatkan oleh pengaruh Islam yang luas setelahnya, menjadi alasan sosial tidak ditemukannya banyak candi di tatar Sunda. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi penguasa rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan yang eksklusif dan kokoh yang jauh dari rakyatnya.

Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di Tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris, fokus sesembahan dan penghormatan masyarakat lebih langsung kepada alam dan ke Sanghyang ketimbang kepada para raja.

3. Hanya Satu Kerajaan
Di Nusantara, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, melainkan juga berfungsi sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antarkerajaan telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan, selalu diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika hari ini kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu.

Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan sebuah kerajaan seperti ini, tidak terjadi di Tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di Tatar Sunda hanya satu, yaitu Kerajaan Sunda; cuma pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Pajajaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis), dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda itu tersentralisasi dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu, tetapi—paling tidak hingga saat ini—keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, selain proses rekonstruksinya masih kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan Kerajaan Sunda. Kekuasaan yang tunggal, yaitu Kerajaan Sunda, adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di Tatar Priangan.

Dengan demikian, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu mengekspresikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika Kerajaan Madjapahit berada di puncak kekuasaannya, Kerajaan Sunda tidak pernah takluk di bawah pengaruhnya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep teologis, dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dengan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan dan bahkan ketiadaan candi di Tatar Sunda memang sudah semestinya.

Inilah kekhasan lokal dan kekayaan tradisi kekuasaan di Sunda. Masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” kelangkaan candi di Jawa Barat sebagai sebuah indikasi rendahnya peradaban dan sebaliknya banyaknya candi sebagai indikasi prestasi peradaban. Persepsi ini justru sebuah sikap “minder kebudayaan” (cultural inferiority complex) di hadapan kebudayaan lain, sementara kebudayaan Sunda memiliki sistem sosial kebudayaan sendiri yang sesungguhnya lebih berorientasi pada nilai-nilai, religiusitas, dan hal-hal lain yang bersifat abstrak.


Sumber sekunder: http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/5
Sumber primer: http://artikel.uinsgd.ac.id/